Syaikh Nawawi Al Bantani
Saudi
sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekah dan Madinah. Dialah Syekh Muhammad
Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi
al-Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya.
Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi, Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir.
Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk menggantikan kedudukannya.
Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya.
Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana juga. Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.(Lihat, Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122)
Pada tahun 1860-1870, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah:
1. KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
2. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
4. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu).
6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
7. KH Ilyas, Kragilan, Serang.
8. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
9. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.
Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.
Karya-karyanya:
Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an – sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu.
Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir, sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H):
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami.
2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri
4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul ’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi.
5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi.
6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i.
7. Asy-Syu’ba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh Muhammad ibn Ali.
8. Marraqiyyul ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .
9. Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi.
10. Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
11. Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.
12. Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari.
13. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits.
14. Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’lawi.
15. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami.
Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib, yang juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhofier, 86):
1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab al-Bayan (1884).
3. Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-Farid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
5. Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
6. Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.
7. Syarah tentang syair Asmaul Husna.
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)
10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
11. Tafsir Murah Labib.
Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi, Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir.
Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk menggantikan kedudukannya.
Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya.
Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana juga. Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.(Lihat, Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122)
Pada tahun 1860-1870, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah:
1. KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
2. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
4. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu).
6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
7. KH Ilyas, Kragilan, Serang.
8. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
9. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.
Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.
Karya-karyanya:
Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an – sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu.
Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir, sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H):
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami.
2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri
4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul ’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi.
5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi.
6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i.
7. Asy-Syu’ba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh Muhammad ibn Ali.
8. Marraqiyyul ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .
9. Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi.
10. Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
11. Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.
12. Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari.
13. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits.
14. Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’lawi.
15. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami.
Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib, yang juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhofier, 86):
1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab al-Bayan (1884).
3. Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-Farid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
5. Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
6. Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.
7. Syarah tentang syair Asmaul Husna.
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)
10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
11. Tafsir Murah Labib.
Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
Imam
Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu
Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150
Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga
jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf
(kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi
Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah
menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi
yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya
kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu
dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah
menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam
Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian,
kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga
dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di
dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke
Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah
pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang
membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi
mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu
karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum
beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu
banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai
hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan
hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut,
pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam
Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai
sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan
oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi
dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan
Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan
Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah
terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan
prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau
selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu
saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk
bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana
ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang
lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.
Diantara karya karya Imam Syafi’i
yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga
buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis rasulullahyang dihimpun dalam kitab
Umm serta ikhtilaf Al hadist.
KH.
Abdurrahman Wahid
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil
belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia
diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar
membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar
formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti
namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl
selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah
pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur
mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah
Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota
Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa
Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan.
Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai
berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar,
Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia
masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di
pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan
tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama
kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia
pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi,
seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP.
Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang
hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan
Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah
lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur,
misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam
waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas
beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa
karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail
Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul
'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa
Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali
informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC
London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak
Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya
Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki
masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat
Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan
informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur
melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren
ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru
dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus
sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini
pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di
Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi
buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini
pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut
diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi
di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di
pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di
Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di
pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan
menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci,
untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk
melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia
merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar,
akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia
merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di
Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi
perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku
dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan
saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr,
seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual.
Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada
tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban
Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di
Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini
Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada
waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana
orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca
hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin
mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir
al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam
Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU.
Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang
terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada
saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam
Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang
dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur
bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat,
utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus
menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa
Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan
kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas
lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan
Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk
biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja
sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University
di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun,
akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik
sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur
berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki
kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus
Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke
sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi
maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup,
dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam
kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan
kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di
hadapan sidang akademik.
Sumber: GusDur.net
KH.
M. Ma’shum bin Aly
Banyak
orang yang tak mengenal ulama alim satu ini. Sikap sederhana yang dimilikinya,
membuat banyak orang tidak mengenalnya. Namun jangan dikira beliau adalah
pengarang kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Sebuah kitab sharaf yang
amat masyhur di Nusantara bahkan negara luar sekali pun.
Nama
lengkapnya, Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di
Maskumambang Gersik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah
belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng
Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari
generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga
harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka.
Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas
inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo
di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun
lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala
ilmu, terutama bidang extag/hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus
Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak
lain adalah putri Hadratu Syekh sendiri.
1. Mendirikan Pondok di
Seblak
Seblak
adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng.
Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti
halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat
kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk
menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih
payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun,
beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah
sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut
telah berkembang pesat.
Meski
sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah
Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada
tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah
tersebut.
2. Karya Pena Kiai
Ma’shum
Jumlah
karyanya tak sebanyak Hadratus Syekh yang mencapai belasan kitab. Tetapi
hamper seluruh kitab Kiai Ma’shum terbilang sangat monumental. Bahkan, banyak
orang yang lebih mengenal karangannya dibanding si pengarangnya itu sendiri.
Terhitung ada empat kitab karya beliau;
- Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah.
Kitab ini menerangkan ilmu sharaf.
Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar.
Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau negara luar,
kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap eksis dikaji. Karena
saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.
Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata
memuat makna filosofi tinggi. Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad
misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang
santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia
dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan
terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya
agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba).
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit.
Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera
sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
- Fath Al-Qadir. Konon, kitab ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, ketika beliau masih hidup, oleh penerbit Salaim Nabhan Surabaya. Halamannya tipis tapi lengkap. Kini kitab tersebut banyak dijumpai di pasaran.
- Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan “mudah”. Hal ini tak lain karena kehebatan Kiai Ma’shum dalam menyusun dan menguraikan bab dengan gamblang. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriyah, keberadaan matahari dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilidan dengan jumlah 109 halaman.
- Badi’ah Al-Mitsal. Kitab ini juga menerangkan ilmu falak. Kali ini beliau menerangkan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari, sebagaimana teori Barat, kabut pilin, pijar. Menurut beliau, yang menjadi pusat peredaran alam semesta ialah bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi bumi.
3. Kepribadian yang
Sederhana
Sebagai
Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum bukan berarti harus meninggalkan
pergaulnya bersama masyarakat awam. Beliau dikenal sebagi Kiai yang akrab
dengan kalangan bawah. Bahkan saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak
mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Menurut
pandangan beliau, semua orang lebih pintar darinya. Buktinya, beliau pernah
berguru kepada nelayan. Kejadian ini terjadi taatkala beliau pergi haji. Selama
perjalanan, Kiai Ma’shum menggunakan waktu yang cukup lama itu dengan berguru
kepada nelayan di perahu. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya
aneh. Tak disangka, dari hasil pengamatan beliau itulah, lalu lahir kitab
berjudul Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau
juga dikenal sufi. Untuk menghindari sombong dihadapan manusia, menjelang
wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang
beliau miliki. Hal ini tak lain karena beliau takut kalau dirinya diketahui
oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati.
Kesederhanaannya
tidak hanya terlihat ketika beliau masih hidup. Setelah wafat pun,
kesederhanaannya dapat kita lihat. Makam beliau tampak biasa-biasa saja (baca:
sangat sederhana). Jangankan untuk hiasan yang menandakan sebagai makamnya
seorang Kiai, batu nisannya saja hanya tersisa satu. Sampai banyak orang yang
tidak tahu kalau sebenarnya itu adalah makam Kiai Ma’shum. Justru dari
kesederhanan itulah, nama beliau dikenang dunia sebagi ulama alim dengan
karyanya yang paling monumental dan fenomenal sepanjang zaman.
4. Hubungan yang Harmonis
Kehidupan
sehari-hari beliau mencerminkan orang yang harmonis, baik bersama masyarakat,
keluarga, atau santri. Khusus kepada Hadratus Syekh, Kiai Ma’shum sering
menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Ketika
sepulangnya dari Mekkah pada tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir
Al-Lawami’ sebagi hadiah untuk beliau. Bahkan kitab As-Syifa yang
pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syekh ketika
mengarang kitab.
Almh.
Ny. Khoiriyah Hasyim, menceritakan; suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat
dengan Hadratus Syekh tentang dua persoalan, foto dan penentuan awal
ramadhan (lihat; Heru Sukardi: 1979). Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram.
Sedangkan Hadratus Syekh menyatakan haram.
Begitu
pula mengenai permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab.
Sedangkan Hadratus Syekh memilih dengan teori ru’yat. Akibat
perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari
pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun
kedua ulama’ terkemuka ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya
tetap terjalin akrab, layak tak ada konflik yang mengingat. Ada seorang santri
yang mengatakan kalau Kiai Ma’sum tidak punya adab, ia berani berbeda pandang
dengan guru yang sekaligus mertuanya sendiri. Mengetahui hal itu Hadratus Syekh
menegurnya “Setiap orang memiliki pendirian sendiri-sendiri, harap dalam hal
yang seperti ini saudara jangan ikut campur tangan.”
Pulang Keharibaan Ilahi
Rabbi
Pada
tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat sebab penyakit
paru-paru yang dideritanya. Usianya + 46 tahu. Kewafatan beliau membawa
musibah besar, terutama bagi santri Tebuireng. Karena beliaulah satu-satunya
Kiai yang menjadi rujukan utama dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus
Syekh .
Sungguh
besar jasa beliau dalam bidang keilmuan. Kita dapat merasakannya dari
peninggalan karya beliau yang hingga kini belum ada seorang ulama pun yang
mampu menyainginya.
Semoga
segala perjuangan beliau diterima oleh Allah SWT dan apa yang beliau tinggalkan
semoga bermanfaat tiada henti, hingga menjadikannya amal jariyah nan abadi. Allahummagfir
lah wa nafa’ana bih wa biulumih Amin.
Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Telah dimaklumi, bahwa usia yang panjang bagi seorang hamba adalah
merupakan rahmat tersendiri dari Allah SWT. Apalagi umur yang panjang dalam
kehidupan di dunia ini, dihiasi serta dipenuhi dengan amal kebaikan, baik
vertikal maupun horizontal, KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan salah satunya.
Sejarah panjangnya, dalam pengabdian serta perjuangan untuk agama, bangsa dan
negara, telah terukir dalam tinta mas.
Pengabdian serta perjuangan telah terbukti dengan kepribadiannya selama
masa revolusi fisik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara
republik Indonesia ini, dan selanjutnya mengisi kemerdekaan tersebut melalaui
bidang pendidikan dan pengajaran. Bukan cuma itu, buah pemikiran beliau yang
dituangkan ke dalam sejumlah kitab, masih banyak yang belum diketahui.
Melukiskan orang besar sekaliber KH. M. Hasyim Asy’ari, serta pemikirannya
bukanlah suatu yang mudah, karena ada kehawatiran akan mereduksi gambaran sang
tokoh dan karya-karyanya. Namun masih tersisa harapan, semoga hal tersebut
dapat merangsang pembaca untuk menggali lebih dekat, baik seputar kelahiran,
keluarga, perjalanan studi, gagasan-gagasan besar dan peninggalan yang harus
dirawat, serta pemikiran beliau yang dituangkan dalam karya kitab-kitabyan yang
berbahasa arab (kitab kuning).
Kelahiran Dan Masa
Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua
di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim
dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah kemudian
dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu
Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka
dikarunia 10 anak:
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Muhammad Hasyim,
lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal
14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahira KH.M. Hasyim Asy’ari,
nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika
dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam
kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit
seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil belaiu hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya
yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di desa tersebut
Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing),
mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu
yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai
pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan
kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan
keakraban dan saling membantu..
Rihlah Ilmiyah
a. Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga
beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari
kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali
baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya
yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan
modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam
usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik
bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya
terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya
tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan
tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau
mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.
b. Mengembara ke
Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun,
perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondik
pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah
Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di
Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih),
kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul
Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup
mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai
Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya
jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi.
Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah
melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk
mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan,
akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil
atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi
sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah
kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat
saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH.
As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada
tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di
pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal
ilmu nahwau dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal
dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan
tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah
haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah
beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW
yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami
sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra
beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan
beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak
tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping
itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji
setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah
air bersama mertuanya.
c. Kematangan Ilmu di
Tanah Suci
Kerinduan akan
tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah.
Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik
kandungnya yang bernama Anis. Kenagan indah dan sedih teringat kembali tat kala
kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru
membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu
pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di
Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah,
di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu
hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan),
Upaya yang
melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau
pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang
bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan
mengajar di kampung halaman.
Peran-Peran Besar
KH. M. Hasyim Asy’ari
a. Mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar
Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali
mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus
tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa
Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri
Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena
berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim
kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah
berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah
sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar
dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng
pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada
se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali
lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi
dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang
akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26
Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama
rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb,
Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan
ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng
dapat diatasi.
KH. M. Hasyim
Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan
beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan
pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang
datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai
sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri
Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga
ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi
pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
b. Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif
mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal
atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa
Timur didirikanlhn Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH.
Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan
azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab
empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu
Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang
menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi
rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya.
Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham
ahli sunnah waljama’ah…
Nahdlatul ulama’
sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk
keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan
ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau
menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan
sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai
orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari
jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini
berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada
batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj
dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan
agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan,
pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas
pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya
sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU
bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai
polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam
politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh
menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
c. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya
tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi
Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
1. Kursi kedudukan yang tinggi dalam
pemerintahan
2. Harta benda yang
berlimpah-limpah
3. Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW
menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari
ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti
dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir
KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun
waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan
oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan
fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada
kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran
perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan
resolusi jihad yang beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya
yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang , pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan disurabaya. Beliau
dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan
itu dipangkunya namuni tetap mengajar dipesantren hingga beliau meninggal dunia
pada tahun 1947.
Keluarga Dan
Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899
M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas
pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim
dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun
1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai
Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari
pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH.
M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin
Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin
Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan
Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7
Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih,
sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu
muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kia menemui utusan tersebut dengan
didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat.
Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk
berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”
kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa
beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau
tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu
tersebut untuik meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di
samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari
bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia
memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu,
putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada
saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir
dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi,
Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna
LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa
yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para
pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan
khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya
yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat
mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat
mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu,
yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder
istirahat”.
Karya Kitab klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau
tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuat
umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan
bukti riil dari skap dan prilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa
karyanya yang rata-rata berbahasa arab.
Tetapi sangat diakungkan, karena kuarang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya,
kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan
yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
- Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin.
Kajian kewajiban beriman, mentaati,
mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat
al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat.
Kajian mengenai
maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Kajian mengenai
pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat
menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul
Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh.
Kajian tentang
wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal
Kajian tentang
pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim.
Pandangan tentang
etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah.
Kajian hukum-hukum
nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh
Abdullah bin yasir Pasuruaan.
Dia adalah imam Abu Hamid Muhammad
bin Ahmad al Ghozali yang dijuluki Hujjatul Islam. dia ulama terkenal dari Thus
yang bermadzhab syafi i , Imam besar ini memimiki peran yang saogat besar dalam
memajukan peradaban islam. keharuman namanya mampu mencerahkan hati manusia dan
nenghidupkan jiwanya. Beliau lahir di Thus pada tahun 450. dan ayahnya seorang
pemintal wol kemudian menjualnya dikedainya .
Dasar ilmunya yang pertama di
peroleh dari Thus kemudian mengembara ke Naisapur dan belajar berbagai macam
ilmu kepada Imam Haramain. Abu al Ma'ali al Juwaini. Dia tekun dan ulet
sehingga dalam waktu singkat sudah menguasai banyak ilmu .Bahkan dizaman
gurunya masih hidup beliau sudah menjadi rujukan para ulama disamping itu
beliau juga telah menyusun suatu karangan.
Dalam perkembangan berikutnya imam
Ghozali sempat bertemu perdana Mentri Nizamul muluk dan mendapat penghormatan
yang luar biasa darinya. fakta inilah yang mendorong perdana Mentri menyerahkan
pengelolaan perguruan tinggi Nizamiahnya,Irak kepada Al Ghozali. peristiwa
sejarah yang terjadi pada tahun 480 H ini otomatis semakin mengundang simpati
dan rasa kagum penduduk irak sehingga kedudukan Ghozali dimata mereka semakin
tinggi.
Kemudian pada thn 488 H Ghozali
meninggalkan semua kedudukan dan apa yang diperolehnya selama menjadi kiblat
para ulama. Beliau pergi meninggalkan keramaian dan menjalani cara hidup
syuhud.
pertama beliau berangkat haji
kemudian menuju zam dan menetap beberapa tahun dikota Damaskus. Dikota ini
beliau menginap di salah satu sudud kamar dimasjid jami' untuk melakukan
kontemplasi merenungkan kembali berbgai macam ilmu yang selama ini
dipelajarinya. setelah berjangsung cukup lama beliau pindbg ke Baitul Maqdis
dan ditempat baru ini waktunya lebih banyak dihabiskan untuk ibadah dan
menziarahi majlis majlis pertemuan kemudian pergi ke mesir dan menetap
diiskandariah dalam waktu yang cukup lama sehabis dimesir, beliau kembali
kekampung halamanya dan menyendiri dikamar pribadinya dan menyusun berbagai
kitab yang bermanfaat dalam berbagai bidang.
Setelah itu beliau kembali lagi ke
Naisabur dan mengajar diperguruan Nizamiah. Namun tidak berapa lama, kembali
pulang kerumahnya diThus dan membuat satu bilik kecil untuk menjalani hidup
sufi. disamping kesibukan satu ini beliau juga masih sempat menyisakan waktunya
untuk mengajar. sementara sebagian besar waktunya dibagi untuk melakukan
kegiatan mulya,sampai beliau wafat 14 Jumadil Ahir tahun 505.